
Jakarta (Espos) Diwarnai aksi penolakan mahasiswa di sejumlah daerah, RUU Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) akhirnya disahkan menjadi UU, Rabu (17/12).
Mahasiswa menilai pengesahan UU tersebut membuat pendidikan semakin mahal dan tak terjangkau.
RUU BHP disahkan menjadi UU BHP dalam rapat paripurna yang digelar di Gedung DPR, Rabu kemarin. Pengesahan RUU BHP dihadiri sekitar 50 anggota DPR. Ketidakhadiran Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo sempat disinggung dalam rapat tersebut.
“Kami memutuskan UU yang sangat penting, namun tidak dihadiri oleh Menteri Pendidikan. Sementara di luar sana banyak mahasiswa yang mengamuk. Kami seperti hidup di awang-awang. Seperti tidak terkait dengan realita. Meski fraksi kami menyetujui, ini harus menjadi catatan buat kita semua,” ujar anggota FPAN DPR, Djoko Susilo.
Saat rapat paripurna berlangsung, 100-an mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang memaksa masuk ke ruang rapat paripurna sempat terlibat aksi saling dorong dengan polisi.
Sidang pun sempat diskors karena sekitar 15 mahasiswa melakukan interupsi.
Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar yang memimpin rapat langsung menghentikan sidang untuk sementara. Sejumlah anggota DPR juga langsung naik ke balkon untuk menghentikan aksi mahasiswa tersebut.
Di Solo, puluhan aktivis dari Forum Bersama (Forbes) BEM UNS Solo, juga melakukan unjuk rasa menolak pengesahan RUU BHP. Aksi serupa juga berlangsung di Bandung dan Makassar. Bahkan, di Makassar, aksi sempat diwarnai dengan kericuhan.
Ratusan aparat kepolisian yang dipimpin oleh Kapoltabes Makassar Kombes Pol Burhanuddin melakukan penyerbuan ke dalam kampus Unhas di Jl Perintis Kemerdekaan, Makassar, Rabu, pukul 14.00 WITA.
Koordinator aksi Forbes BEM UNS, Bery Nur Arif, menjelaskan, dengan disahkannya RUU BHP, dikhawatirkan akan membuat pendidikan semakin mahal dan agenda pemerataan pendidikan di Indonesia semakin terhambat.
Menurutnya, ada sejumlah pasal yang dinilainya sangat merugikan dunia pendidikan Indonesia. Salah satunya, pasal 12 yang mengisyaratkan diperbolehkannya lembaga pendidikan asing masuk ke Indonesia.
“Dengan adanya lembaga asing itu, dikhawatirkan akan mengganggu lembaga pendidikan yang sudah ada. Selain itu, pasal 49 RUU BHP itu yakni adanya sanksi pembubaran lembaga BHP oleh pemerintah, karena lembaga pendidikan tidak bisa mengelola lembaga pendidikan tersebut,” tandas dia.
Sedangkan Koordinator Aksi dari BEM Bandung Raya, Irawan, menyatakan, “Dengan adanya BHP ini nantinya tidak akan ada porsi kontribusi yang jelas dari pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Kami ingin membuktikan orang di daerah pun menolak RUU BHP ini.”
Di depan pengunjuk rasa, Pembantu Rektor III UNS Drs Dwi Tiyanto SU secara pribadi menolak pengesahan RUU BHP tersebut. “Secara pribadi jelas saya menolak pengesahan RUU BHP itu,” tegas dia.
Ajukan proposal
Namun demikian, tandas Dwi, UNS sebetulnya telah mengajukan proposal ke Depdiknas terkait pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) UNS. “Hari ini (kemarin-red) tim dari UNS telah dipanggil oleh Depkeu untuk menjelaskan konsep BLU, setelah sebelumnya proposal BLU itu telah memperoleh persetujuan dari Depdiknas,” imbuh dia.
Sementara, pengamat pendidikan Kota Solo, Prof Dr Furqon Hidayatullah menyatakan setuju dengan sistem Badan Hukum Pendidikan (BHP) dalam pendidikan. Namun, ia tidak setuju jika sistem pendidikan itu jadi memberatkan masyarakat.
“Jangan sampai perguruan tinggi itu begitu saja dilepas dari pemerintah. Akibatnya perguruan tinggi menaikkan SPP, sesuai selera perguruan tinggi dan menyebabkan sangat memberatkan masyarakat,” ujarnya saat dihubungi Espos, Rabu.
Menurutnya, jika hal itu terjadi akan memberikan efek yang sangat memberatkan masyarakat, terutama kesulitan akses untuk memperoleh pendidikan di perguruan tinggi. “Padahal pendidikan itu menjadi hak manusia, sehingga jika sudah memberatkan itu, artinya menghalangi masyarakat untuk memperoleh kesempatan pendidikan,” paparnya
Terpisah, Ketua Komisi Pendidikan, Irwan Prayitno, menegaskan UU BHP sama sekali tidak memuat pasal yang meliberalkan dunia pendidikan. Justru, pemerintah akan menanggung seluruh biaya pembangunan dan gaji dosen.
“Biaya investasi seperti biaya bangunan dan gaji dosen 100% ditanggung pemerintah,” jelas Irwan pada kelompok mahasiswa yang berunjuk rasa menolak UU BHP di pelataran Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu.
Memang, sebagai badan hukum, lanjutnya, perguruan tinggi punya hak menetapkan SPP yang harus dibayar oleh mahasiswa peserta didik. Tapi, lanjutnya, besaran pungutan dibatasi paling tinggi 1/3 dari biaya operasional institusi pendidikan bersangkutan.
Selain mengesahkan RUU BHP, dalam rapat paripurna kemarin, DPR juga mengesahkan tiga RUU menjadi UU, yakni UU Penerbangan, UU Kepariwisataan serta UU tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi.
Persetujuan atas RUU tentang Penerbangan dicapai setelah fraksi-fraksi di DPR menyampaikan pandangan akhir terhadap RUU ini.
Pasal kontroversi dalam UU BHP
Pasal 12
Yang mengisyaratkan lembaga pendidikan asing masuk ke Indonesia.
Pasal 41 Ayat 7
Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orangtua atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.
Pasal 47 Ayat 8
Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud Ayat 7 yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) atau Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD) paling banyak sepertiga dari biaya operasional.
Pasal 49
Adanya sanksi pembubaran lembaga BHP oleh pemerintah, karena lembaga pendidikan tidak bisa mengelola lembaga pendidikan tersebut
(Sumber:Solopos>> http://www.solopos.co.id/zindex_menu.asp?kodehalaman=h01&id=253190)
hidup mahasiswa... tp sebetulnya gak harus dgn kekerasan sih.....
BalasHapus